Selasa, 29 Juni 2010

Organisasi mahasiswa

Organisasi mahasiswa adalah organisasi yang beranggotakan mahasiswa. Organisasi ini dapat berupa organisasi kemahasiswaan intra kampus, organisasi kemahasiswaan ekstra kampus, maupun semacam ikatan mahasiswa kedaerahan yang pada umumnya beranggotakan lintas-kampus. Sebagian organisasi mahasiswa di kampus Indonesia juga membentuk organisasi mahasiswa tingkat nasional sebagai wadah kerja sama dan mengembangkan potensi serta partisipasi aktif terhadap kemajuan Indonesia,
seperti organisasi Ikahimbi dan ISMKI. Di luar negeri juga terdapat organisasi mahasiswa berupa Perhimpunan Pelajar Indonesia, yang beranggotakan pelajar dan mahasiswa Indonesia.

Senin, 28 Juni 2010

REPOSISI ORGANISASI DAERAH

“Sebuah upaya strategis atau apologis ?”
Reborn by AdJiE!
Fenomena organisasi daerah adalah realitas klasik bagi masyarakat intelektual (baca : mahasiswa) Indonesia, terutama yang menjalani masa studinya di luar daerah asalnya. Salah satu catatan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan, peran organisasi pemuda daerah, mutlak memainkan bagian penting dalam keseluruhan skenario perjuangan bangsa Indonesia. Masih terlalu melekat dalam ingatan bangsa Indonesia,28 Oktober 1928, kurang lebih 76 tahun yang lalu,betapa pernyataan bersama dari organisasi pemuda di seluruh penjuru tanah air seolah menjadi penyejuk di tengah gerahnya para pejuang akan penjajahan yang dialami, dan menjadi penyulut semangat perjuangan yang telah kelelahan. Dengan pernyataan bersama sebagai sebuah komitmen untuk berbangsa, bertanah air dan berbahasa satu dalam ruang perjuangan itu memandu arah perjuangan yang tadinya terpecah, menjadi lebih terintegrasi dan strategis.
Dalam dinamika perkembangan bangsa, dimanapun, sulit untuk dihindari bahwa peran generasi muda sangat vital bagi konsistensi sebuah perjuangan. Dalam babak-babak perjuangan, baik merebut, mempertahankan atau membangun sebuah kemerdekaan, kontribusi dari generasi muda seakan menjadi satu-satunya tolok ukur dan indicator bagi keberhasilan perjuangan tersebut. Budi Utomo, Sumpah Pemuda adalah salah satu contoh wakil genre dan hasil dari upaya pemuda sebagai pendobrak perjuangan bangsa ini. Simak juga kekhawatiran seorang JFK terhadap kecenderungan yang mewabah di kalangan muda Amerika sebagai dampak pasca pemberlakuan wajib militer bagi perang-perang yang dilakukan Amerika. Al hasil, segala upaya yang dilakukan diarahkan dalam kerangka mereduksi dan bahkan menghilangkan trauma yang terjadi. Bahkan dalam beberapa kejadian baru dalam dinamika nasional, peran mahasiswa sebagai intelektual muda adalah salah satu pull factor bagi beberapa perubahan tatanan bangsa. Demikian pentingnya peran generasi muda, sehingga bukan hanya nasib sebuah bangsa yang menjadi taruhan, bukan tidak mungkin nasib peradaban sangat ditentukan oleh kelas ini
Belakangan, entah dikarenakan cepatnya dinamika bangsa Indonesia yang tengah menata kembali fondasi dan tatanan serta arah perjuangan yang sempat tercabik-cabik oleh ganasnya dinamika di luar, ditambah wacana tentang globalisasi, berbagai gagasan tentang peran sentral generasi muda seakan-akan terabaikan. Bahkan oleh kalangan generasi muda itu sendiri. Perubahan dalam berbagai aspek bangsa ini menimbulkan kegamangan yang luar biasa bagi generasimuda dalam menentukan sikapnya. Dalam mengahadapi realitas inilah, sangat penting bagi generasimuda untuk tetap konsisten melakukan re interpretasi dengan kualitas dan kecepatan yang sangat tinggi.
Isu-isu globalisasi, sebagaimana dimunculkan di awal, dengan berbagai indikator-indikatornya memiliki andil besar bagi perubahan-perubahan yang terjadi. Perkembangan teknologi yang berakibat pada cepatnya arus informasi yang kian memudahkan lalu lintas ide dan gagasan bahkan dalam skala global sekalipun. Tanpa adanya pemahaman yang utuh terhadap berbagai perubahan tersebut, nilai-nilai yang telah tumbuh dalam sebuah masyarakat dan telah menjadi fondasi berdirinya sebuah bangsa sebesar Indonesia akan tereduksi dan terlupakan. Bukan tidak mungkin, dengan berbagai potensi sosialkultural yang dimiliki Indonesia akan menjadi potensi konflik dan menyerang balik integrasi bangsa se-heterogen Indonesia.
Yang menjadi focus permasalahan adalah peran sentral generasi muda (baca : mahasiswa) sebagai penggerak utama dalam kaitannya dengan fenomena organisasi daerah. Fenomena organisasi daerah yang banyak dijumpai terutama di kota-kota yang menjadi pusat tujuan pendidikan, mutlak tidak akan ada tanpa keberadaan mahasiswa sebagai aktor utamanya. Hubungan yang telah menjadi keniscayaan tersebut belakangan agaknya merenggang. Terkait dengan berbagai dampak globalisasi yang mengantarkan manusia pada pemahaman yang lebih dari sekedar modern. Faham yang dikenal dengan istilah posmodernisme ini telah merambah ke berbagai aspek kehidupan manusia. Bahkan tanpa kita sadari sudah sedemikian dekat, sekedar contoh adalah pola konsumsi yang kita lakukan seringkali bukan dalam rangka menjawab kebutuhan yang masing-masing memiliki level pemenuhan sendiri, tapi lebih pada konsumerisme yang “membabi buta”. Contoh tersebut sekedar menunjukan betapa perilaku kita telah berubah dan seringkali perubahan tersebut bukan perubahan yang progresif realistis. Kita telah dengan mentah-mentah menelan apa yang ada tanpa ada upaya untuk membaca kembali secara utuh fenomena yang terjadi dalam dinamika kehidupan kita. Output dari kian maraknya fenomena seperti ini adalah generasi-generasi “pop”. Bukan pop dalam pengertian sebenarnya yang memiliki kriteria-kriteria sendiri, tapi lebih kepada “asal pop”.
Realitas sosial seperti kecenderungan “asal pop” menyeret generasi muda kita untuk lebih menerima apa yang menjadi trend, yang lebih mayor. Sementara berbagai faham dan realitas yang minor terlupakan begitu saja dengan berbagai ungkapan apatisme di sepanjang jalannya. Eksistensi organisasi daerah dan pandangan yang berkembang tentang eksistensinya tersebut pada akhirnya terimbas. Perspektif lain yang agak lebih baik adalah tetap mengakui eksistensi organisasi daerah, namun eksistensi tersebut dianggap sebagai sebuah end product yang tidak memerlukan analisa kritis lagi untuk tetap relevan dengan tuntuan perkembangan peradaban secara umum.
Dalam tahapan awal proses belajarnya, kebanyakan orang akan berangkat dari pertimbangan yang sangat pragmatis (like and dislike). Di lain pihak, kejiwaan generasi muda yang lebih sensitive terhadap sesuatu yang “baru”, berhadapan dengan permasalahan globalisasi dan berbagai konsekuensi logis, baik yang telah terpetakan maupun yang belum, pada akhirnya berdampak pada perspektif berpikir yang apologis dan cenderung apatis, apalagi terkait dengan organisasi daerah. Generasi muda yang semestinya menjadi pionir bagi eksistensi organisasi daerah, terjebak dalam kompleksitas permasalahan sebagaimana terurai di atas. Ditambah image yang seringkali dikaitkan antara organisasi daerah dengan “penguasa” berujung pada sebuah kesimpulan prematur bahwa organisasi daerah adalah kepanjangan tangan penguasa, keterjebakan yang dialami oleh generasi muda dan organisasi daerah sebagai entitas independen kian rumit untuk diurai.
Berikutnya apakah organisasi daerah masih cukup relevan dan efektif sebagaimana gagasan awal yang menjadikan organisasi, baik yang bersifat kedaerahan maupun di luar itu sebagai sebuah media bagi generasi muda untuk tetap berproses di luar proses formal yang harus mereka jalani. Apakah organisasi daerah masih dapat memfasilitasi semangat-semangat kolektif yang telah terbukti mampu mengentaskan bangsa ini dari permasalahan penjajahan?
Adalah sebuah kesalahan ketika permasalahan telah dimunculkan, dan bukannya berupaya untuk menjawab atau paling tidak menentukan sikap yang “benar”, sehingga kegamangan tidak lagi menjadi dominasi generasi muda. Bukan tidak mungkin posmodernisme yang menghasilkan dampak berupa kecenderungan individualisme ditambah dinamika nasional seperti fenomena otonomi daerah dan kegamangan yang mewabah pada generasi muda bukan tidak mungkin isu-isu separatisme akan menjadi permasalahan krusial bagi bangsa ini. LAGI!!
Dari sekian gambaran permasalahan yang harus dihadapi generasi muda, berikutnya organisasi daerah yang terimbas pada skala yang lebih besar lagi, bangsa ini, solusi yang ditawarkan di sini adalah sesuatu yang sederhana. Kotradiktif dengan gambaran permasalahannya, solusi tersebut adalah gagasan re-thinking yang dipadukan dengan kecepatan respon dalam membaca dan menyikapi dinamika kehidupan subjek dan objek kajian, yaitu generasi muda dan organisasi daerah. Namun solusi tersebut masih terlalu kualitatif untuk langsung diimplementasikan pada kondisi yang sebenarnya.
Masalah apatisme yang mewabah di kalangan muda, belum serumit permasalahan lain semacam dehumanisasi, dan demoralisasi, meskipun masalah tersebut saling terkait. Apatisme ini tumbuh subur dikarenakan beberapa sebab utama, terutama tingkat kejenuhan generasi muda mengenai fenomena objek (organisasi daerah) yang terkesan monoton, dan “itu-itu aja”. Bagi kebanyakan generasi muda, kecenderungan untuk mendapatkan wacana-wacana baru, akan lebih banyak dijumpai “di luar” kerangka organisasi daerah. Secara ekstrem, organisasi daerah dianggap tidak mampu memfasilitasi need of achievement yang melekat dalam perkembangan mental generasi muda. Berbagai perkembangan teknologi sebagaimana sebelumnya, kian memudahkan siapa saja untuk memperoleh wacana-wacana baru tersebut.
Kurang lebih dengan permasalahan generasi muda sebagai subjek permasalahan, fenomena organisasi daerah sebagai objek, meskipun independen, akan berhadapan dengan kompleksnya permasalahan generasi mudanya. Masalah organ daerah sangat tergantung pada pelaksananya. Bahkan lebih parah, telah dianggap sebagai sebuah kewajaran ketika tanggungjawab mengenai organisasi daerah adalah “otoritas” beberapa gelintir pihak tertentu saja. Saling terkaitnya permasalahan tersebut, sebenarnya memudahkan upaya mencari akar permasalahan dan menemukan solusi yang tepat bagi permasalahan tersebut. Tanpa adanya interest tentang organisasi daerah, persoalan tanggungjawab pelaksanaan organisasi daerah mustahil terselesaikan, dan tanpa adanya variasi gagasan yang hanya muncul jika interest untuk berkontribusi dalam organisasi daerah cukup tinggi, mustahil organisasi daerah dapat beranjaka dari permasalahan kurang marketable –nya gagasan dan program yang akan dikerjakan.
Selanjutnya, langkah yang diambil haruslah lebih strategis, bahkan sampai level teknis kegiatan sekalipun. Secara garis besar, profesionalisme pelaksanaan organisasi daerah ternyata belum cukup terbukti. Dalam pemahaman dan skala yang lebih luas, strategis berarti bahwa setiap langkah yang diambil tetap pada batsan-batasan untuk mewujudkan tujuan bersama. Tanpa adanya koreksi dalam penentuan tiap langkah yang akan ditempuh oleh sebuah organisasi dapat membawa organisasi daerah ke arah yang salah dan besar kemungkinan justru menjadi pemicu konflik disintegrasi yang rawan dan dekat dengan fenomena organisasi daerah. Beberapa pengalaman mencatat bahwa organisasi daerah telah bergeser dari koridor organisasi sosialkultural, tapi telah menjadi “alat” bagi kepentingan beberapa orang saja. Dengan argumen tanpa upaya tersebut, kepentingan organisasi daerah sendiri tidak terfasilitasi, berbagai kejadian tersebut terlegitimasi menjadi sebuah kewajaran.
Terlepas dari kompleksitas permasalahan organ daerah tersebut, agaknya masih relevan untuk berkaca pada kejadian 76 thn yang lalu. Tanpa bantuan dari pihak manapun, hanya bermodalkan kesadaran kritis dan tanggungjawab moral, para pemuda dapat menyusun sebuah akar bagi terwujudnya kemerdekaan.
Pertanyaan yang harus dijawab sekarang adalah dimana posisi kita sendiri di tengah kegamangan generasi muda pada umumnya dan kegamangan organisasi daerah dalam upayanya menemukan posisi yang tepat, bukan hanya sebagai wadah bagi apologi-apologi yang picik? Berasumsi dari kecenderungan yang cukup besar pada generasi muda sekarang untuk bersikap apologis dengan berbagai pembenar retoris terkait dengan perubahan dan permasalahan yang muncul? Apakah kita masih menjadi penonton dan merelakan roda waktu menentukan arah perjalanan yang akan kita lalui?atau mungkin kita tidak lagi menonton, tapi apakah langkah kita cukup strategis dengan berbagai permasalahan di atas? Bukan jawaban bung! Hanya kerja yang bisa menjawabnya !!.

Sabtu, 19 Juni 2010

Undangan Nikah

Assalamualaikum Wr.Wb

Dengan tidak mengurangi rasa hormat kami,lewat media ini kami Mohon Doa Restu Serta Kehadirannya di Pernikahan,

"" ANDI AHMAD AFANDI, S.Si & KURNIATI LUBIS, AMK""
(Ahmad) (Nia)

Yang Insya Allah akan di laksanakan pada :
Hari Kamis, 24 JUNI 2010,
Bertempat di Bojo.
Jam 12.00 - 16.00 WITA

Besar harapan kami sekeluarga agar sodara(i)/senior/junior dapat hadir di hari bahagia ini, dan menjadi saksi di mulainya lembaran baru kehidupan dari kedua mempelai.
wassalam...

Hormat kami


Ahmad Sekeluarga

Jumat, 18 Juni 2010

Parepare Siap Raih Adipura ke-7 untuk Bertanding Tingkat Asia

PAREPARE- Setelah berhasil meraih Piala Adipura yang keenam kalinya secara berturut-turut, maka Parepare bersiap-siap meraih kembali piala tersebut tahun depan untuk ketujuh kalinya sehingga salah satu prasayarat mengikuti lomba kebersihan tingkat Asia Tenggara.

Hal tersebut ditegaskan Walikota Parepare, H Mohammad Zain Katoe saat memberikan sambutan sebelum Piala Adipura diarak keliling kota di Pantai Mattiritasi Baru, Sabtu (12/6). Menurutnya Piala Adipura yang diterima Presiden RI, 8 Juni lalu harus dapat dipertahankan.

“Insya Allah Piala Adipura ini akan kita perjuangkan karena ini merupakan tantangan,kami harapkan dipacu terus untuk mempertahankan dan meraih piala ini untuk ketujuh kalinya. Kita harus memperoleh nilai 73 di bulan oktober nanti sebagai penilaian pertama karena tahun lalu kita mendapat nilai 71.” Ujar Zain.

Atas prestasinya meraih Piala Adipura keenam kalinya ini, tak tanggung-tanggung Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo saat memberikan sambutan pada acara penyerahan Piala Adipura Kabupaten/kota di Baruga Sangianseri Rujab Gubernur t iga hari yang lalu.

Saat menyampaikan pujian dan terima kasih kepada masing-masing penerima penghargaan Adipura, Syahrul mengomentari secara khusus prestasi Zain Katoe atas diterima dan dipertahankannya Piala Adipura yang keenam kalinya sejak 2005 silam. Menurutnya, bukan hal yang mudah bagi setiap daerah dan kepala daerah untuk bisa meraih Adipura.

“Meraih sertifikat saja sudah luar biasa apalagi kalau sudah dapat pialanya. Bahkan Pak Zain Katoe bersama kota yang dipimpinnya berhasil meraihnya enam tahun berturut-turut. Ini sungguh prestasi yang luar biasa,” katanya

Penerima Adipura tahun ini sebanyak 140 kabupaten/kota yang terdiri atas 9 Kota Metropolitan,4 kota besar,41 kota sedang dan 86 kota kecil. Khusus Sulawesi Selatan,peraih Piagam Adipura untuk Kategori Sedang yakni Parepare, Palopo dan Watampone. Sedangkan untuk Kota Kecil diraih Kota Pangkajene Pangkep,Watangsoppeng,Sinjai,Barru,Pinrang, Sengkang. Makassar sendiri kecipratan Piagam Adipura untuk Kategori Kota Metropolitan.(*)